Friday, October 23, 2009

trekking the Himalaya 3

Hari ke 6, 29 September 2009

Trekking hari ke 4, Khumjung – Pangboche 3980 m, lama perjalanan 4 jam.

70

Bangun pagi di Khumjung gue langsung beku lagi melongo sejadi-jadinya. Di depan gue Ama Dablam di belakang gue Khumbila atau Khumbiyu Lha atau God of Khumbu menjulang 5761 m. Oleh kelompok masyarakat Sherpa gunung ini dikeramatkan karena merupakan tempat tinggal dewa penjaga daerah sekitarnya menurut kepercayaan mereka dan belum pernah didaki sekali pun. Usaha pendakian mengalami kegagalan dengan meninggalnya para pendaki karena terhempas longsoran salju. Ya sudah lah, gue nggak akan berusaha mendaki gunung Khumbila daripada nggak bisa nulis di blog lagi.

75

Seperti hari-hari sebelumnya, gue serasa menari di jalan. Jangan bosen kalo gue bilang perjalanan ini emang keren banget yaa... Keluar Khumjung jalan ada di sisi luar bukit dengan jurang dalem di sebelah kanan gue dan sungai Dudh Kosi yang bergolak di bawahnya. Gue jalan melipir rapat dinding. Takut jatoh temans... hehehe...

71

73

Ah ada yang lupa gue sebut dari hari pertama. Selama perjalanan ini kita banyak melintasi jembatan gantung atau suspension bridge yang panjang dan tinggi. Deg-degan juga nyebrangnya. Kalo kita melintas itu jembatan goyang abis. Apalagi kalo di depan atau di belakang kita ada rombongan yak, jangan tanya. Dan gue berusaha mati-matian nggak bareng rombongan binatang besar itu. Biar lama yang penting nunggu dulu. Jangan kuatir nggak kebagian. Jembatan penghubung antar gunung ini nggak cuma 1 tapi ada banyak.

86

Perjalanan ini melalui Tyangboche atau Tengboche atau dalam diterjemahkan bebas “Sacred Bowl”, betul-betul seperti mangkok raksasa karena terletak di sebuah lembah besar dikelilingi oleh Thamserku 6608 m, Kangtega 6779 m dan Taboce 6542 m. Disini lah pusat Biara Budha terbesar untuk daerah Khumbu atau dikenal sebagai Tengboche Monastery. Setiap ahir bulan Oktober selama 9 hari diadakan festival Mani Rimdu yang menjadi daya tarik tidak saja untuk penduduk lokal tapi juga turis.

81

82

Makin tinggi tempat yang gue capai gue makin kedinginan. Baju, jaket, kaos kaki, sarung tangan udah berlapis-lapis gue pake. Gue jadi keliatan agak lebih gendut dari semestinya hahaha… Makin tinggi nafsu makan gue makin berkurang. Makan bukan lagi buat nikmat tapi lebih buat asal ngisi perut. Bukan karna menu atau rasanya yang nggak sesuai selera, tapi memang nafsu makan gue seperti menghilang. Menurut kabar yang gue terima sebelum memulai perjalanan hal itu biasa terjadi. Nggak percaya sebelum kejadian, tapi itu lah yang gue alami. Untungnya gue udah antisipasi dengan makan sebanyak dan sekenyang mungkin selama gue masih ada selera makan di hari sebelumnya.

84

Pangboche, seperti desa lainnya nggak kalah indahnya.

88

90

Hari ke 7, 30 September 2009

Trekking hari ke 5, Pangboche – Dingboche 4260 m, waktu tempuh kira-kira 4 jam.

Lepas Pangboche setelah kira-kira jalan 1 jam, keadaan dataran tinngi itu mulai berubah. Pohon besar hilang digantikan dengan tumbuhan perdu. Semakin tinggi kita jalan perdu mulai hilang digantikan semak yang tumbuh di sana sini, pasir dan batu membentang. Mata gue mulai kehilangan warna hijau. Kuning pasir, coklat dan hitam batu, putih es di kejauhan bahkan semak pun didominasi warna kekuningan, kemerahan, kecoklatan cuma sedikit warna hijau.

93

97

Udara Dingboche yang dingin terbatasnya persedian kayu untuk bahan bakar pemanas mengharuskan penduduk setempat mengupayakan bahan lain sebagai bahan bakar. Yang menjadi alternatif adalah kotoran zop atau yak yang dikeringkan. Mereka nggak perlu kerluar uang buat kotoran binatang ini. Dengan bermodalkan keranjang besar yang disunggi di punggung mereka mengumpukan kotoran zop atau yak yang memang banyak bertebaran di jalan. Setelah itu mereka mengaduknya dengan sedikit air, dihaluskan dengan cara dipukul dengan menggunakan kayu, dibulatkan dan digepengkan dengan tangan, dijemur di terik matahari sampai kering, jadilah bahan bakar.

Photobucket

Photobucket

Gundukan, adonan dan gepengan kotoran yang dijemur dan siap pakai ini bukan hal aneh dan menjadi pemandangan sehari-hari. Bayangkan mereka mengaduk kotoran ini dengan tangan telanjang setelah selesai cuci tangan setelah itu mereka menyiapkan makanan. hmmm...

Photobucket

Dingboche, gue nggak ketemu kata-kata selain indah, keren, mantep.. Sudah lah top banget pokoknya..

Photobucket

Hari ke 8, 1 Oktober 2009

Trekking hari ke 6, Dingboche – Thugla 4400 m, ditempuh dalam 3 jam 30 menit.

Umumnya trekker menjadikan Dingboche sebagai tempat istirahat untuk aklimatisasi kedua. Tapi dengan pertimbangan akan ngirit tenaga dan waktu untuk rute berikut, daripada cuma diem bengong aja mending aklimatisasi dengan jalan sedikit lebih tinggi ke Thugla. Kalo memang kemudian ada terjadi hal-hal yang nggak diinginkan kita masih bisa turun lagi ke Dingboche.

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Pumori setinggi 7145 meter mulai ngintip-ngintip dan gue mulai terserang demam panggung. Gunung favorit ke 3 di depan mata. gue jadi salah tingkah..!! Dan gue udah siap-siap mau motret si dia dengan segala macem cara.

Photobucket

Photobucket

Thugla bukan desa. Cuma ada 1 penginapan merangkap rumah makan di tempat ini. Betul-betul terpencil di atas gundukan batu. Hebatnya, makanan yang disajikan tetep mengugah selera dan rasanya pun top abis. Cuma sayang gue beneran kehilangan selera makan. Sepertinya gue agak mengalami dehydrasi, defisit body mass, kehilangan daya tahan dan tenaga tanpa gue sadar karna terlalu gembira dan antusias dengan perjalanan ini. Sup jadi satu-satunya makanan andalan gue yang masih bisa ketelen tanpa usaha keras. Tapi gue masih sadar untuk tetep mengkonsumsi makanan padat walaupun dengan segala daya upaya dan cuma sedikit banget yang bisa masuk. Liat roti udah seperti liat hantu kolong tempat tidur! Nasi was a nightmare!!

Photobucket

Photobucket

Baru 4400 meter dan napas mulai pendek. Ngiket tali sepatu seperti habis lari 10 menit. Udara dingin makin membabi buta. Gue sih nggak pake malu dan gengsi untuk ngebungkus badan gue dengan lapisan-lapisan baju, walaupun masih banyak para trekker lain yang memang berasal dari negara dingin cuma pake kaos dan jaket selapis doang.

Sayang kalo cuma bengong kedinginan, siang itu kita jalan-jalan sedikit naik buat liat danau Cholatse yang ada ditengah gunung. Luasnya bikin gue gamang.

121

122

124


Malem itu mulai timbul gejala gangguan ketinggian yang lain. Mulai susah tidur..

Hari ke 9, 2 Oktober 2009

Trekking hari ke 7, Thugla – Lobuche 4930 m, jalan naik kira-kira 4 jam.

Dua kata, KEREN BANGET!

Kita jalan di tengah morain atau lautan batu dan pasir. Rumput pendek cuma tumbuh disana sini aja. Matahari bersinar terik tapi langit mulai berawan dan angin kencang. Perjalanan meskipun naik makin tinggi, nggak susah sama sekali. Jalan bareng sesama trekker, porter, rombongan yak, sapaan “Namaste”, ngobrol. Seperti sebuah keluarga besar yang lagi arisan di jalanan pegunungan.

125

126

Mendekati Lobuche kabut atau tepatnya awan keliatan turun semakin mendekat dan semakin tebal. Tiba di penginapan kita memutuskan untuk makan siang dan istirahat sebentar dan mau jalan sedikit naik ke bukit seberang untuk berkunjung ke salah satu glacier terdekat. Mau liat blue ice.

146

132

Jangan membayangkan bukit hijau berbunga karna lebih menyerupai tumpukan batu yang membukit. Sepanjang jalan banyak ditemuin batu yang besarnya kira-kira seukuran rumah tipe 21. Gede banget. Gue serasa entah ada di planet lain dan bukan di bumi.Cuma kira-kira 100 meter naik, yang berarti kita udah menginjakkan kaki di ketinggian 5000 meter. Yaaay..!! Sayangnya karna belum masuk winter daerah glacier ini belum tertutup es dan si blue ice hanya keliatan samar aja.

134

Udah waktunya turun karna awan semakin tebal dan agak susah buat ngeliat. Tiba-tiba gue ngerasa ada yang dingin dan basah netes di muka gue. Hujan, gue piker. Tapi kok bullet-bulet halus begitu sampe di jaket gue langsung tergelincir, nggak nempel. Begini, seumur hidup gue tinggal di negara tropis yang cuma punya 2 musim, panas dan hujan. Hujan air. Dan gue nggak sadar di tempat setinggi dan sedingin itu tetesan air hujan berubah menjadi butiran putih halus kecil yang disebut salju. Ternyata gue kena gerimis salju. Horeeeeee…. Langsung dong gue norak setengah mati. Gue rentangin tangan gue, gue buka mulut kalo nggak inget oksigen tipis mungkin gue udah guling-gulingan di batu. Sampe losmen gue nggak buru-buru masuk tapi mandi gerimis saju dulu di luar. Norak! Biar! Nggak peduli!

131

Sore itu seperti biasa gue bergulung di pojokan ruang makan kedinginan dan menghayal punya rambut setebal rambut yak.

Malam itu jadi malapetaka buat gue. Lagi tidur enak-enak tiba-tiba gue terbangun karna ngerasa sakit perut yang amat sangat. Gue tahan sebisa mungkin walau ahirnya nyerah. Musti segera ke toilet dan buang hajat membabi buta. Balik ke kamar si sakit nggak kunjung reda malah sekarang asam lambung gue ikutan berontak yang menyebabkan lambung gue perih seperti ditusuk-tusuk dan kedengeran bunyi gemuruh di perut gue. Entah bunyi perut atau gue nggak sadar mengaduh, Unggul ikut kebangun dan mulai sibuk gosok perut gue pake balsam. Masuk angin parah, saudaraku!! Gue tempel koyo sebanyak-banyaknya. Nggak juga reda. Dalam kesibukan itu sempet terlontar untuk menghentikan perjalanan dan turun kembali tanpa mencoba untuk naik lebih tinggi. Aaarghhh… tinggal 2 hari lagi sampai titiknya. Antara mengiyakan dan nggak terima sambil nahan sakit, gue cuma bisa manggut-manggut sedih. Ahirnya Unggul dengan bijaksana memutuskan untuk liat kondisi gue pagi berikut, setelah itu terserah gue.. Buat tidur aja susah apalagi pake acara nahan sakit. Meskipun gue tertidur juga karna cape.

147

Harusnya pagi itu kita berangkat jalan jam 6 pagi. Tapi ternyata gue kebangun jam 7 pagi dan gue nggak yakin dengan kondisi gue, apa membaik atau sama atau memburuk. Sedih rasanya. Sambil balik badan gue buka korden di jendela maksutnya supaya ada matahari masuk dan berharap gue ngerasa lebih baik. Kok nggak ada sinar matahari? Setengah mangkel gue angkat badan buat liat keluar jendela. Sekali lagi temans, gue beku di tempat. Pantesan aja nggak ada sinar matahari masuk. Diluar hujan salju lumayan besar. Ternyata ada saat dimana sinar matahari dikalahkan oleh lebatnya salju yang turun. Dengan seketika gue merasa segar sehat wal afiat. Masuk angin? Wes ewes ewes… bablas angine. Hilang! Atau seperti hilang? Tak tau lah… Gue merasa saat itu gue siap melakukan perjalanan kemana pun sejauh apa pun.

137

Gue yakin, meskipun dengan agak ge-er sedikit, sebenernya Unggul, Bikram dan Feishal kuatir dengan keadaan gue. Tapi begitu liat betapa berharapnya gue bisa ngelanjutin perjalanan ini dan dengan pertimbangan yang sudah betul-betul dipikirkan, ahirnya mereka memutuskan bahwa gue sanggup untuk terus jalan.. Puji Tuhan…


...

No comments:

Post a Comment